Pages

"An Old Man & The Night Sky"

Seperti malam-malam biasanya tiap menjelang pukul satu, pria tua itu kembali terjaga dari tidur yang belakangan kurang nyenyak. Muka pucat berkeringat. Nafasnya tersengal putus-putus yang bila dicermati ternyata seirama tik-tok jam dinding. Malam begitu sepi. Keheningan kadang pecah oleh batuk-batuk yang mencekik tenggorokan, membuat jantung seakan-akan mau rontok. Udara dingin begitu akrab meresapi pori-pori.

Begitulah, seperti biasanya ia coba istirahat sejenak dengan duduk di kursi rotan yang tepat menghadap muka jendela kaca persegi. Kurang lebih satu meter jarak bola matanya dengan lapisan tipis bening itu, sehingga matanya yang selalu sayu tak bersemangat bisa dengan mudah memandang luas dan jauh ke luar: di atas sana ada langit malam yang seakan-akan menjelma layar lebar, dan bila ditatap dalam-dalam akan muncul rangkaian gambar halus dengan warna peristiwa masa lalu yang berganti-ganti, mungkin seperti tayangan slide dengan urutan yang tidak runut -ingatan seorang pria tua tidak cukup kaku untuk persis menghapal rangkaian peristiwa satu-persatu.

Yang pasti, setiap menjelang pukul satu, pria tua itu selalu dibangunkan kembali oleh semacam kegelisahan, mungkin juga kangen, untuk menengok kembali dirinya sendiri ketika berada di tengah-tengah kehangatan anak-istri puluhan tahun silam, ketika masa-masa gembira; minum teh bersama sambil berselonjor kaki di beranda sore hari, cubitan gemas dari istri melihat si bungsu merengek tidak dikasih duit recehan atau ketika tiba hari menerima gaji dan ia pulang ke rumah mendapati ciuman-ciuman hangat lima anak nakal yang mendarat di pipi.

Begitulah, langit malam belakangan telah menjadi kawan yang terlalu rajin mengajak dirinya kembali menyelami masa silam, berenang dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Baginya langit malam selalu indah bila telah sampai di detik-detik pergantian hari; hening, sepi, dingin merasuki pori-pori. Maka wajar kiranya meski tak diberi aba-aba dengan repot-repot pasang alarm, kerinduannya yang begitu dalam, yang mungkin muncul jauh jauh jauh jauh dari alam bawah sadarnya setiap menjelang pukul satu, telah sedemikian tekun mengantarnya kembali menemui langit malam yang mungkin kini menjadi satu-satunya keindahan yang tertinggal dalam sisa hidup.

Meski bisa saja tuan-tuan sekalian bersepakat (dengan usia belum tua-tua begini), langit malam lebih cocok jadi layar kusam di sebuah gedung bioskop dengan sejibun pilihan film-film dokumenter tentang pembunuhan keji dalam perang tak habis-habis, busung lapar dan bencana banjir, pertikaian antar ras dan suku, jurang kaya-miskin, perselingkuhan, copet di bis kota atau tetangga sebelah rumah yang sering menikam dengan fitnah.

Tapi demi 'hasrat hidup tenang' yang barangkali, sadar tidak sadar, tuan-tuan rawat juga hingga kelak menginjak lanjut usia, biarlah pria satu ini menjalani hari tuanya dengan kebiasaan baru yang indah itu; langit sebenarnya hanyalah berisi bulan jelek, bintang kecil dan beberapa lembar awan yang kadang gelap-suram. Sesekali muncul kunang-kunang. Jadi amatlah mengharukan bila itu

0 komentar:

Posting Komentar