Pages

LEE KUAN YEW PM SINGAPURA


BERCERMIN DARI UCAPAN LEE KUAN YEW


Jika pemerintah kita mengirim asap ke Singapura, negeri kecil tetangga kita itu tak pernah sepi mengirim kata-kata keras. Menteri mentor singapura lee kuan yeu melemparkan bola panas bahwa pemerintah Indonesia  dan Malasyia bersifat diskriminatif terhadap etnis tionghoa. Lebih jelasnya, Lee  diantaranya mengungkapkan “Di Indonesia dan Malasya, orang-orang Tionghoa adalah pekerja keras dan orang-orang yang berhasil, tetapi mereka secara sistematis dipinggirkan (The Straits Times, 16 September 2006).
Pemerintahan Malasyia paling kebakaran jenggot. Sekitar 88 % pembaca berita harian yang terbit di Negeri Jiran itu mendesak Lee segera minta maaf atas ucapannya, sedangkan yang 12 % lain sudah patah arang dan tak mau memaafkan Lee lagi. Sementara reaksi pemerintah RI, lewat Sekjen Deplu Imran Cotan, memang terkesan keras tapi masih terukur. Deplu hanya akan minta klarifiaksi.
Syrkurlah ,dikoran Straits Times, edisi 3 Oktober 2006, Lee langsung meminta maaf kepada PM Mlaysia atas pernyataannya yang membut banyak pihak merasa tidak nyaman. Lee mengaku tidak bermaksud mencampuri urusan dalam negeri Malaysia dan Indonesia.
Penulis tidak tahu mengapa ucapan tersebut mengundang reaksi keras, apakah hanya karwna diucapkan sosok Lee yang memang dikenal kerap melontarkan pernyataaan controversial sehingga Lee tidak begitu disukai banyak pihak di Malaysia atau Indonesia. Jika kita menyimak pepatah arab: “ jangan melihat siapa yang berbicara, tetapi dengarkan apa yang diungkapkannya”, maka isi pernyataan Lee sebenarnya bukan hal baru lagi. Pernyataan seperti itu sebenarnya sudah sering kali diucapkan atau ditulis tokoh-tokh lain. Prof. Dr Leo Suryadinata, tokoh kelahiran Jakarta dan peneliti di Institut of Southeast Asian Studies di Singapura; Benny G Setyono, Ketua Umum INTI; atau temen saya, Dede Oetomo dosen di Unervesitas Hanoi dan Beijing sudah cukup sering  mengungkapkan hal senada dalam wawancara, dalam buku atau dalam tulisan-tulisan mereka.
Masalah yang terkait SARA memang selalu sensitive. Namun, jika soal seperti ini sering diungkap, sebenarnya daya sensitivitasnya akan berkurang. Maka dari itu pernyataan baru dari Lee yang dinilai tidak sensitive itu, kita sebenarnya disadarkan lagi bahwa memang masih ada apa yang disebut dengan masalah etnis Cina atau masalah Tionghoa khusunya di tanah air kita sendiri. Dari sinilah, kita perlu mengelaborasi ucapan Lee sekaligus menjadikannya cermin.
Jika kita menelusuri sejarah, masalah Tionghoa memang baru muncul seiring dengan datangnya para kolonialis, khususnya belanda pada abad ke-17. sebelum era tersebut, dari bukti-bukti sejarah, kita justru bias melihat pernah terjadi akulturasi budaya yang harmonis antara etnis Tionghoa dan warga setempat, taruhlah seperti dengan orang jawa dan muslim di sepanjang pantura jawa. Dennys Lombard malah mencatat banyak sumbangan budaya Tionghoa di Nusantara, seperti bertani, bakso, mi, dan sebagainya.
Akar dari masalah Tionghoa memang berakar kuat pada politik “ divide at impera” dari penjajah belanda. Dengan kebijakan segregasinya, prasangka antara etnis yang satu dan yang lain kian jadi subur. Di zaman Belanda juga ada produk hukum diskriminatif, yaitu pasal 163 IS (indische staatsregeling) yang memilah penduduk Indonesia menjadi tiga golongan, salah satunya adalah Tiong Hwa dan Timur Asing. Untuk mendukung pasal itu, pemerintah colonial menerapkan pass and Zoning sistem yang berlangsung lama dan berdampak besar.Dalam sistem ini,orang tionghoa ditempatkan dalam ghetto ( pecinan ) dan jika mau keluar masuk kawasannya, harus menunjukan surat. Lalu, guna mengawal kebijakan yang diskriminatip itu, pemerintah mendirikan kantor  voor Cineesche Zaken  (KZC).
Buntut dari itu semua, relasi yang harmonis (peaceful coexistence) antara etnis Tionghoa dan yang lain berubah menjadi prasangka social (social prejudice). Maka sejak era penjajahan itu, lahirlah “ dinding dinding pemisah yang tebal” anrara orang Tionghoa dan mayoritas warga lainnya.
Konyolnya, selama 61 tahun Indonesia merdeka, memang harus diakui cukup banyak produk hukum diskriminatif dna memarginalkan peran etnis ini. Di era Soekarno, kita memang mengenal peraturan pemerintah 10/1959 yang melarang etnis Tionghoa tidak melakukan aktivitas ekonomi di desa-desa. Di era Soeharto, kita ingat Impres No. 14 / 1967 yang melarang semua hal yang berbau Tionghoa di depan umum. Jelas, produk hukum seperti itu “ contraditio in terminis” dengan cita-cita para pendiri bangsa melalui konsep kebangsaannya ( nation state) yang tidak mempersoalkan asal-usul, keturunan, ras, etnistas, warna kulit, dan latar belakang lainnya. Berbagai tokoh tionghoa selama 61 tahun juga aktif berperan menjaga konsep kebangsaan sesperti itu sekaligus menjaga Indonesia yang seperti itu, etnis Tionghoa merupakan bagian integral dari NKRI. Ini memang beda dengan Malaysia yang konsep kebangsaannya berdasar atas pengelompokan etnis  atau ras.
Jadi jika dilihat dari kebangsaan kita, sebenarnya memang tidak perlu ada apa yang disebut dengan masalah Tionghoa dai Tanah Air tercinta ini. Apalagi pemerintah SBY,juga baru meresmikan UU No. 12 / 2006 tentang kewarganegaraan yang tidak lagi memilah antara pribumi dan nonpribumi, antara warga yang asli atau bukan. Bahkan, guna mendukung UU No. 12, kini juga tengah digodok Rancangan Undang-Undang Antidiskriminasi sert RUU Kependudukan dan Catatan Sipil. Ini jelas perkembangan yang baik dan perlu derespon secara positif.
       Meskki demikian, menghapus kebijakan diskriminatif  dari alam pikir para birokrat, seperti para birokrat di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil memang tidak mudah. Meski saja ada yang bermental seperti di era colonial, sehingga praktik diskriminasi atau marjinilisasi terhadap etnis Tionghoa tetap coba dilestarikan. Para oknum birokrat di Dinas Kependuduka dan Catatan Sipil Surabaya,misalnya, tega mematok jutaan rupiah untuk pembuatan KTP bagi warga Tionghoa. Tidak heran dalam acara sosialisasi UU No. 12 di Surabaya akhir September, ketua Pansus UU itu s\Slamet Effendi Yusuf mengungkapkan tanpa perubahan mentalitas dari para birokrat, UU Kewwrgenegaraan tak akan guna.
Akhirnya, penulis ingat satu pernyataan Ben Anderson ketika diskusi  soal buku Tjamboek Berdoeri di Surabaya di penghujung 2004 lalu agar warga Tionghoa tidak perlu reaktif dlam menyikapi kebijakan yang diskriminatif. Sebab, yang namanya diskriminasi, di Amerika Serikat  pun masih ada. Yang terpenting, bagaimana kita tetap terus punya kehendak bak untuk membangaun masyarakat yang bias lebih toleran dan saling menghargai dalam perbedaan. Ucapan Lee setidaknya bias kita jadikan cermin, meskipun koita tidak harus sependapat dengan isi ucapannya.

0 komentar:

Posting Komentar