Pages

Ecological multimodal therapy (EMT) sebagai sebuah pendekatan bagi konseling remaja

SEBUAH PENDEKATAN ECOLOGICAL MULTIMODAL TERHADAP

Tujuan utama artikel kami adalah untuk mengintroduksi ecological multimodal therapy (EMT) sebagai satu pendekatan bagi konseling remaja. Konsep-konsep teoritis utama EMT diambil dari multimodal therapy (MMT), sebuah pendekatan konseling yang secara teknis dipilih dari berbagai sumber yang dikembangkan oleh Arnold Lazarus (1989). Walaupun MMT merekognisi arti penting dimensi interpersonal dalam fungsi-fungsi kepribadian dan proses konseling, kami meyakini bahwa dimens ini tidak diberikan atensi yang mencukupi dibandingkan dengan dimensi-dimensi intra-individu (misalnya, perilaku, mempengaruhi, imajinasi, dan kognisi). Untuk menjadikan MMT secara kultural lebih relevan dalam masyarakat Asia yang tersusun dalam sebuah hirarki sosial yang rinci dan jaringan interpersonal yang ekstensif, kami merekomendasikan melakukan MMT, dengan memperluas dimensi interpersonalnya, didalam sebuah kerangka ekologis yang dikembangkan oleh Lee (1999). Kami menyebut pendekatan konseling integratif ini sebagai ecological multimodal therapy (EMT).
Dalam artikel ini, konsep-konsep kunci dari terapi multimodal (Lazarus, 1989) dan ecological multimodal therapy pertama kali didiskusikan, diikuti dengan sebuah studi kasus yang menguraikan aplikasi ecological multimodal therapy.

MULTIMODAL THERAPY
Latar belakang
Perkembangan MMT secara historis terkait dengan gerakan integrasi psikoterapi sejak 1930-an di Amerika Utara dan Inggris (lihat Hollanders, 2000a, 2000b) berdasarkan pada keyakinan bahwa tidak ada teori atau pendekatan tunggal yang memadai untuk menjawab kerumitan isu-isu manusia. Ironisnya, gerakan ini tidak mengakhiri kondisi berperang dalam bidang konseling namun memunculkan model-model integratif berbeda sejak para teoritikus berbeda mempunyai gagasan-gagasan berbeda seperti bagaimana integrasi seharusnya dilakukan. Umumnya ada tiga pendekatan terhadap integrasi psikoterapi: (a) faktor-faktor umum; (b) integrasionisme; dan (c) eclecticism / sistem filsafah yang menggunakan pemilihan (dari berbagai sumber) (Fischer, 1978; Grencavage & Norcross, 1990, 1992; Hollanders, 2000b; Karasu, 1986; Norcross, 1987; Norcross & Grencavage, 1989; Norcross & Newman, 1992; O’Brien & Houston, 2000). Tujuan dari faktor-faktor umum adalah untuk mengembangkan metode-metode konseling berdasarkan pada bahan-bahan inti yang dimiliki umumnya teori-teori berbeda. Integrationisme berupaya untuk mengidentifikasi persamaan-persamaan untuk pada akhirnya membentuk sebuah teori komprehensif baru. Eclecticism tidak bertujuan untuk mengembangkan sebuah teori komprehensif baru namun untuk mengintegrasikan satu rentang tehnik-tehnik yang luas yang diambil dari berbagai teori. MMT adalah salah satu bentuk eclecticism yang bekerja didalam sebuah kerangka kognitif-perilaku, meskipun terbuka dalam penggabungan fleksibelnya dengan tehnik-tehnik lain tanpa menyumbang ppada teori-teori mendasar mereka. Sebagai contoh, konselor dapat menggunakan meditasi transendental, dimana efektivitasnya ditunjukkan secara empiris (lihat Murray, 2002), sebagai bagian dari program manajemen stres tanpa menyumbang pada filosofi timurnya. Sebisa mungkin, hanyak tehnik-tehnik yang diambil dari laboratorium atau divalidi secara empiris yang dapat digunakan dalam konseling kecuali mereka gagal untuk mencapai hasil-hasil yang dikehendaki atau mereka tidak eksis untuk merawat gangguan emosional tertentu.

Hubungan-hubungan konseling
Namun, penekanan pada tehnik-tehnik dalam MMT tidak mengabaikan arti penting hubungan therapeutic (mengobati). Tehnik-tehnik tidak akan efektif bila tidak ada kepercayaan, hubungan, dan aliansi antara konselor dan klien. Merespon secara empatik, mendengarkan secara aktif, saling menghormati atau penghargaan positif tanpa syarat (Rogers, 1961) adalah sikap-sikap dan ketrampilan-ketrampilan esensiil untuk membangun sebuah hubungan efektif dengan klien. Konselor harus melihat klien sebagai seorang partner aktif dalam proses konseling. Ketimbang menempatkan klien kedalam sebuah kerangka yang sudah ditetapkan sebelumnya, konselor harus merekognisi bahwa setiap klien adalah unik dan membutuhkan perlakuan-perlakuan yang dipersonalkan. Pertanyaan esensiil yang biasanya diajukan konselor multimodal adalah: “Apa perawatan/perlakuan, oleh siapa, yang paling efektif bagi klien ini, dengan masalah spesifik tersebut, dalam kondisi-kondisi bagaimana?” (Paul dikutip di dalam Hollanders, 2000a: 3).
Lazarus (1989) mengobservasi bahwa ketika para konselor mematuhi satu orientasi teoritis maka mereka cenderung mengadopsi gaya-gaya interpersonal yang identik bagi semua klien. Para konselor berorientasi psikoanalitis secara khas mengambil sebuah peran anonim dan mempertahankan kenetralan. Mereka sangat sedikit mengungkapkan diri mereka hanya untuk memfasilitasi pemindahan. Para konselor Rogerian, sebaliknya, cenderung untuk menjadi hangat dan lembut sehingga para klien mereka mampu untuk menggali perasaan dan keyakinan-keyakinan mereka dalam atmosfer yang tidak mengancam. Namun, penggunaan gaya interpersonal yang sama dengan semua klien mengabaikan kebutuhan-kebutuhan dan ekspektasi-ekspektasi para klien. Para klien yang memilih sebuah pendekatan yang lebih aktif pada masalah-masalah mereka dan mempunyai ekspektasi para konselor mereka memberikan mereka saran dan arahan yang konkrit dapat menemukan bahwa pendekatan non-direktif dari terapi berpusat-orang tidaklah efektif. Para klien yang menginginkan seseorang untuk mendukung dan mendengarkan mereka mungkin menemukan terapi-terapi berpusat-tindakan (misalnya, terapi perilaku) tidaklah membantu dan tidak sensitif. Pendekatan unimodal (satu perasaan), yang mengasumsikan bahwa semua klien mau menerima satu gaya interpersonal, kemudian terbatas.
Lazarus (1993) mengemukakan bahwa para klien mempunyai kebutuhan-kebutuhan dan ekspektasi-ekspektasi berbeda dan membutuhkan rentangan gaya-gaya interpersonal yang luas dari para konselor mereka. Dalam sebuah sesi konseling multimodal, gaya interpersonal konselor berubah-rubah terhadap satu klien dengan klien lainnya. Gaya interpersonal fleksibel ini, yang disebut “bunglon otentik” dalam MMT, khususnya relevan pada konseling lintas-kultural dimana para klien dari latar belakang kultural berbeda cenderung memegang ekspektasi-ekspektasi berbeda mengenai hubungan klien-konselor. Sebagai contoh, dikondisikan di dalam hubungan sosial hirarkis, para klien China mungkin menjadi bingung dan tidak nyaman berada dalam hubungan-hubungan konseling yang menganut paham persamaan dan non-direktif (Lee, 1993). Mereka lebih nyaman bersama dengan para konselor yang aktif dan memainkan peran sebagai seorang ahli, konsultan atau pemecah masalah. Para konselor yang direktif dalam konseling dipersepsi lebih ahli ketimbang para konselor yang non-direktif.

Proses Konseling
Wawancara awal
Tujuan-tujuan penilaian adalah untuk mengumpulkan informasi relevan untuk memahami klien dan masalah-masalah yang dihadapinya, dan mendesain sebuah program intervensi. Pada wawancara awal, adalah esensiil bagi para konselor untuk mengumpulkan informasi mengenai pertanyaan-pertanyaan berikut (Lazarus, 1989; Palmer, 2000).
1. Apakah ada tanda-tanda “psikosis”?
2. Apa keluhan-keluhan yang diajukan dan peristiwa-peristiwa utama yang mereka hadapi?
3. Apakah ada bukti mengenai menyalahkan-diri, depresi, atau tendensi-tendensi pembunuhan atau bunuh diri?
4. Apakah penampilan klien dalam hal karakteristik-karakteristik fisik, perawatan diri, cara berbicara, dan sikap? Apakah ada aktivitas motorik yang terganggu?
5. Apakah faktor-faktor antiseden penting dalam kehidupan klien?
6. Siapa atau apa yang nampak seperti memelihara perilaku maladaptif klien?
7. Apa yang diharapkan diperoleh klien dari konseling?
8. Apakah ada indikasi-indikasi jelas atau kontraindikasi untuk adopsi gaya-gaya konseling tertentu (misalnya., gaya direktif versus non-direktif)?
9. Dapatkan sebuah hubungan yang sama-sama memuaskan dibentuk atau haruskah klien direferensikan ke lain tempat?
10. Apakah atribut-atribut positif dan kekuatan-kekuatan klien?
11. Mengapa klien mencari konseling pada saat ini – mengapa bukan minggu lalu, bulan lalu, atau tahun lalu?
12. Apakah klien mempunyai alasan-alasan sah untuk berpengharapan?
13. Apakah klien mempunyai pengalaman sebelumnya dalam konseling? Jika ya, apakah hasilnya? Apakah ada kesulitasn-kesulitan yang dihadapi? Apakah itu pengalaman positif, negatif, atau netral, dan mengapa?
14. Apakah ada inidikasi-indikasi seperti pada didalam kepentingan-kepentingan klien untuk terlihat sebagai bagian dari kumpulan, triad, unit keluarga dan/atau dalam sebuah kelompok?
Beberapa dari pertanyaan-pertanyaan panduan tersebut juga ditemukan di dalam prosedur-prosedur wawancara penerimaan standar (lihat Brems, 1999, 2002) sementara yang lain merefleksikan akar kognitif-perilaku dari MMT (lihat Bellack & Hersen, 1998), sebagai contoh, pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk mengidentifikasi antiseden, perilaku target, dan konsekuensi-konsekuensi. Disamping pertanyaan-pertanyaan panduan diatas, kami pikir adalah juga penting untuk mengeksaminasi penyerahan dan masalah-masalah yang mendasari. Dalam konseling sekolah di Singapura, sebagian besar kasus bersifat penyerahan dan hanya beberapa self-referred (menyediakan diri). Berhadapan dengan para klien yang tak berencana memberikan tantangan bagi para konselor sebab sebagian besar para klien tidak melihat suatu kebutuhan untuk menghadiri konseling, tidak paham alasan menemui konselor dan, yang paling buruk, melihat konseling sebagai bentuk hukuman. Dalam sesi konseling pertama, sejumlah besar waktu dihabiskan dengan klien untuk menggali masalah-masalah yang diserahkan, memberikan keluhan dan masalah-masalah yang mendasari. Jika para klien tidak setuju dengan masalah yang diserahkan, maka mereka tidak melihat suatu kebutuhan untuk konseling, maka tidak ada pembangunan hubungan dan konseling tidak akan efektif. Sebagai contoh, seorang siswa mungkin diserahkan oleh gurunya untuk konseling perilaku nakalnya di kelas (masalah yang diserahkan). Namun, ia mungkin tidak setuju dan menganggap gurunya bias terhadapnya (mempresentasikan keluhan-keluhan). Eksplorasi lebih jauh dapat mengungkapkan bahwa “perilaku nakal” klien di sekolah adalah manifestasi dari kebutuhannya akan perhatian (masalah yang mendasari). Jika konselor memilih untuk memfokuskan pada “perilaku nakal” tanpa mempertimbangkan keluhan yang diajukan klien dan masalah yang mendasari, klien tersebut akan menganggap konseling tersebut tidak relevan.

BASIC ID
Dalam terapi multimodal, masalah-masalah emosional dan psikologis dikonseptualisasikan sebagai multidimensional dan multi-ditentukan (Lazarus, 1971, 1989). Untuk melakukan perubahan-perubahan pada klien, konselor melakukan konseling di dalam sebuah penilaian multidimensional dan pendekatan perawatan/perlakuan. Lazarus menghipotesiskan bahwa fungsi manusia tersusun dari tujuh dimensi atau modalitas utama: behaviour / perilaku (B); affect / mempengaruhi (A); sensasi (S); imagery / imajinasi (I); cognition / kognisi (C); interpersonal relationship / hubungan interpersonal (I); dan drugs/biological functions / fungsi-fungsi obat-obatan/biologis (D). Modalitas-modalitas tersebut dapat dengan mudah diingat dengan mengambil huruf pertama dari setiap modalitas untuk membentuk akronim BASIC ID. “Behaviour” menunjuk pada perilaku, tindakan, dan kebiasaan yang dapat diobservasi. “Affect” menunjuk pada emosi dan perasaan. “Sensasi” menunjuk pada lima panca indera – visual, auditori, penciuman, rasa, dan kinestetik. ”Imagery” menunjuk pada memori, mimpi, dan fantasi-fantasi. “Kognisi” menunjuk pada proses-proses berpikir, keyakinan, nilai, dan gagasan-gagasan. “Hubungan-hubungan interpersonal” menunjuk pada interaksi-interaksi dengan orang lain. terakhir, “fungsi-fungsi biologis/obat-obatan” menunjuk pada fungsi biokimia, perilaku sakit (misalnya, kondisi-kondisi medis, tipe pengobatan yang diambil) dan perilaku sehat (misalnya, kebiasaan nutrisional, olah raga). Sama dengan model biopsikososial (Engel, 1980), model BASIC ID mengajukan bahwa fungsi-fungsi, kesehatan, dan sakit manusia merupakan konsekuensi-konsekuensi dari faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosial yang saling mempengaruhi. Namun, itu lebih praktis ketimbang model Engel dengan adanya uraian spesifik dari aspek-aspek psikososial dari fungsi manusia. Ini memungkinkan konselor untuk mengumpulkan informasi spesifik selama penilaian untuk memformulasikan program konseling yang tepat. Strategi-strategi intervensi berbeda dapat kemudian digali/diselidiki terhadap target pada dimensi-dimensi atau modalitas-modalitas berbeda dari masalah tersebut. Perhatikan kasus berikut mengenai seorang siswa dimana tekanan studinya mempengaruhi fungsi hariannya.
Analisis BASIC ID-nya mengungkapkan bahwa ketika stres, ia cenderung agresif terhadap anggota keluarga, guru, dan teman sekelas (behaviour). Ia bersifat temperamental dan mempunyai derajat kecemasan yang tinggi dan kemarahan yang tidak dapat dikontrol (affect). Ia tidak menganggap dirinya lulus ujian (cognition) dan ketika tidur, sering memimpikan perasaan putus asa di depan kertas tes yang kosong (imagery). Ia sering sakit namun dokter tidak bisa menjelaskan gejala-gejala somatiknya (drugs/biological functions). Berkaitan dengan jaringan pendukung sosial (interpersonal relationship), klien tersebut tidak mempunyai banyak teman dan tidak berbagi masalah dengan para anggota keluarganya.

Firing Order (urutan tembakan)
Dalam contoh kasus sebelumnya, analisis BASIC ID memberikan sebuah gambaran deskriptif mengenai tekanan studi sang klien. Ketika kita mempertimbangkan itu bersama-sama dengan faktor-faktor antiseden, presipitasi dan pemeliharaan keluhan yang diajukannya, kita mampu untuk menentukan “firing order” dari modalitas-modalitas tersebut. Firing order menunjuk pada interaksi diantara modalitas-modalitas tersebut dan membentuk informasi yang berguna untuk tujuan intervensi. Dalam contoh kasus tersebut, klien menyatakan bahwa:
Aku selalu tahu bahwa aku tidak akan bisa lulus ujian. Aku kemudian mempunyai gambaran yang sangat hidup dalam benakku, melihat diriku berjuang di ruang ujian. Saat itu, aku merasa panik dan cemas. Jantungku berdegup sangat kencang…
Reaksi stres klien dimulai dengan modalitas kognitif yang diikuti dengan modalitas-modalitas imagery, affect, dan sensasi, ia diberikan saran berikut:
Ketika kamu pertama kali mengetahui pikiran-pikiran negatifmu, cobalah untuk meminta dirimu sendiri untuk berhenti berpikir tentang itu dengan mengalihkan ke sesuatu yang menyenangkan. Mulailah menggunakan tehnik-tehnik yang saya ajarkan kepadamu untuk menyamarkan dan menghilangkan imej-imej tersebut dan melakukan latihan relaksasi.
Namun, ia mungkin kurang bisa menerima saran ini jika reaksi stresnya dimulai dengan tegangan otot (sensasi) diikuti dengan kecemasan (affect), imej visual (imajery), dan pikiran-pikiran disfungsional (cognition). Ia dapat lebih mungkin mendapatkan keuntungan dari targeting intervensi pada urutan S-A-I-C ini. Secara ringkas, dengan menentukan firing order dari modalitas-modalitas tersebut, kita dapat mengaplikasikan intervensi-intervensi berbeda untuk memodifikasi, menginterupsi, dan merekondisi urutan tersebut.
Sebelum berpindah ke bagian selanjutnya, kami harus menekankan bahwa dalam beberapa kasus, informasi untuk membangun sebuah profil BASIC ID tidak hanya didapatkan dari klien namun juga dari para pengasuhnya, orang tua, saudara, teman, dan guru. Ini khususnya umum terjadi dalam konseling para siswa yang lebih muda (misalnya., sekolah dasar) dimana batasan-batasan bahasa dan kognitif mereka tidak memungkinkan mereka untuk dengan jelas mempresentasikan masalah-masalah mereka dalam profil BASIC ID penuh.


BASIC ID urutan kedua
Analisis BASIC ID awal memberikan sebuah profil umum atau makroskopis mengenai masalah-masalah klien. Namun, karena umumnya klien mempresentasikan berbagai masalah, maka penting untuk melakukan analisis BASIC ID urutan kedua. Dengan mempertimbangkan contoh kasus sebelumnya, perilaku agresif yang diidentifikasi dalam modalitas perilaku dapat lebih jauh diperbesar dalam hal pola-pola perilakunya, emosi-emosi terkait, sensasi fisik dan reaksi fisik, imajinasi, kognisi, hubungan interpersonal dan pertimbangan-pertimbangan biologis.

Dari penilaian ke intervensi
Sesudah menarik profil BASIC ID dari keluhan yang diajukan klien, konselor akan mendesain sebuah program intervensi multimodal. MMT merupakan sebuah pendekatan yang secara teknis diambil dari berbagai sumber yang dijalankan didalam sebuah kerangka teoritis belajar sosial namun menarik strategi-strategi intervensi dari teori-teori lain. Intervensi-intervensi tersebut termasuk hipnose, tehnik kursi-kosong, meditasi, dan proyeksi-waktu, disamping tehnik-tehnik kognitif dan perilaku standar (lihat Lazarus, 1989; Palmer, 2000).
MMT telah diaplikasikan untuk merawat gangguan psikologis dalam rentang yang luas (Brunell, 1990; Eimer & Freeman, 1998; Lee, 1995; Palmer & Dryden, 1991; Williams, 1988) dan untuk klien-klien dewasan dan pemuda (Gumaer, 1990; Keat, 1979; Lazarus, 2000; O’Keefer & Castado, 1985; Weikel, 1990). Efektivitasnya telah ditunjukkan melalui uji coba klinis (Kwee dikutip dalam Lazarus, 1989: 22; Williams, 1988).

ECOLOGICAL MULTIMODAL THERAPY
Mengkontekstualisasikan MMT dalam sebuah Kultur Kolektivistis
Walaupun MMT adalah sebuah kerangka pengobatan komprehensif dan sebuah terapi perilaku spektrum-luas yang melebihi teori S-R sederhana, MMT terbatas karena penekanan yang berlebihan pada peran faktor-faktor intra-individu di dalam masalah-masalah emosional. Dari tujuh modalitas, enam diantaranya berkenaan dengan faktor-faktor intra-individu (behaviour, affect, sensation, imagery, cognition dan drugs/biological functions) dan hanya satu yang berkenaan dengan hubungan-hubungan interpersonal. Bias terhadap faktor-faktor intra-individualistis di dalam MMT (seperti dalam sebagian besar model-model integratif dan diperoleh dari berbagai sumber) merefleksikan pandangan dunia individualistis dan penafsiran diri independen (lihat Markus & Kitayama, 1991) mendasari psikoterapi-psikoterapi Barat. MMT menyederhanakan konten dari dimensi interpersonal yang bersifat kompleks dalam kultur-kultur kolektivistis.
Pada masyarakat-masyarakat Asia, ada penekanan yang kuat pada saling keterkaitan antara dua individu, dan memandang diri tidak terpisah dari konteks sosial dan orang lain (Ho, 1995; Markus & Kitayaman, 1991; Sue & Sue, 1999). Pandangan dunia kolektivistis ini direfleksikan dalam jaringan kekerabatan hirarkis kompleks yang diobservasi dalam kultur Asia, sebagai contoh, sebuah sistem keluarga yang diperluas. Namun, apakah jaringan kekerabatan hirarkis ini tetap eksis di masyarakat Asia moderen seperti Singapura? Di tahun 2001, 85% orang Singapura tinggal di flat-flat publik (Departemen Statistik) dan masing-masing flat tersebut tidak cukup besar untuk mengakomodasi semua anggota dari keluarga yang diperluas. Namun, rasa keterkaitan melebihi batasan fisik ini. Sebagaimana yang diobservasi oleh Quah (1998:80), walaupun keluarga-keluarga di Singapura
mungkin hidup dalam setting keluarga inti dan rumah-rumah independen…adalah mungkin bahwa sikap baik terhadap orang tua dan afeksi keluarga mempertahankan keluarga-keluarga inti ini tetap bersama dalam sebuah jaringan hubungan-hubungan yang mempengaruhi dan saling membantu yang disebut dengan keluarga diperluas yang dimodifikasi.
Sistem keluarga diperluas dimodifikasi ini merupakan opsi umum bagi perawatan anak dan sumber bantuan yang umum (Quah, 1999).
Ada beberapa implikasi melakukan konseling dalam sebuah kultur kolektivistis. Pertama, orang-orang Asia lebih mungkin untuk mengkonseptualisasikan masalah-masalah dan isu-isu kehidupan mereka sebagai sosial dan relasional ketimbang intra-fisik dan individu (Leung & Lee, 1996). Kedua, dibandingkan dengan orang-orang Caucasia, orang-orang Asia lebih mungkin mencari bantuan dari anggota keluarga dekat atau diperluas mereka namun lebih sedikit kemungkinan mencari bantuan dari profesional kesehatan mental (Suan & Tyler, 1990; Sue & Sue, 1999).
Kami harus merubah satu hal pada titik waktu ini. Diskusi kita sejauh ini tidak menyiratkan bahwa keterkaitan interpersonal tidak penting dalam kultur Barat. Beberapa teoritikus Barat menyadari basis sosial dari perilaku manusia (misalnya., Germain & Bloom, 1999). Namun rasa keterkaitan interpersonal lebih menonjol dan berkembang di kultur Asia ketimbang di Barat.
Disamping alasan kultural untuk kontekstualisasi MMT, ada juga alasan yang bagus untuk melakukan konseling remaja dari sebuah perspektif ekologis. Ketika melakukan konseling remaja dan siswa, tidak hanya konselor harus mempersepsi isu-isu remaja dan siswa dari perspektif perkembangan seperti membedakan antara proses perkembangan normal dengan psikopatologi (Prout, 1999), namun konselor harus juga menyadari bagaimana konteks sosio-kultural membentuk dan membimbing proses perkembangan remaja (Gardiner & Kosmitzki, 2002). Dalam konteks sosio-kultural ini ada agen-agen yang melakukan sosialisasi seperti keluarga dekat, keluarga diperluas, kelompok-kelompok teman, institusi-institusi sekolah dan religius, yang sering terlibat dalam konseling remaja.
Diskusi yang lalu menunjuk pada kebutuhan untuk memperluas faktor hubungan interpersonal dari BASIC ID untuk merefleksikan kompleksitas hubungan-hubungan manusia-lingkungan ketika melakukan konseling di Singapura. Grup-grup sosial dan institusi-institusi berbeda dapat dijelaskan sebagai dimensi-dimensi berbeda dari faktor hubungan interpersonal, seperti dimensi-dimensi perilaku, afektif, atau kognitif dari faktor intra-individu dalam MMT. Untuk melakukan ini, kami melakukan MMT dalam sebuah kerangka ekologis, sebagai contoh, seperti yang dikembangkan oleh Bronfenbrenner (1979, 1992). Namun, mengikuti rekomendasi-rekomendasi Sue & Sue (1999), kami harus memodifikasi model Bronfenbrenner sebelum mengaplikasikannya di konteks Singapura karena apa yang disebut sebagai properti-properti dalam sebuah sistem ekologis sebuah masyarakat tertentu adalah secara sosiologis dibangun dan dibebani dengan nilai-nilai. Dengan berakar pada pandangan dunia Barat, model ekologis dari Bronfenbrenner mempersepsi sistem keluarga diperluas sebagai bagian dari ekosistem yang tidak secara konseptual dekat dengan individu dan keluarga dekatnya. Karena alasan ini, kami mempertimbangkan sebuah model ekologis alternatif yang dikembangkan oleh Lee (1999) yang lebih relevan bagi dimensi-dimensi sosio-kultural di Singapura. Dalam bagian berikut ini, kita mendiskusikan konsep-konsep kunci dari ecological multimodal therapy (EMT) yang mengintegrasikan MMT dan model ekologis Lee.

Konsep-konsep kunci dalam Ecological Multimodal Therapy
EMT mengadopsi sebuah pandangan holistik dimana orang dan lingkungan mereka secara konstan berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Secara konseptual, hubungan dinamis ini dapat digambarkan dalam sebuah profil ekologis yang terdiri dari enam sistem (Figur 8.1): sistem natural-ekologis; sistem makrososial; sistem mikrososial; sistem keluarga diperluas; sistem keluarga dekat, dan sistem orang (misalnya., klien). Ada dua konsep kunci dalam EMT: struktur dan fungsionalitas.

Struktur
Istilah struktur mengacu pada properti-properti yang menyusun sistem-sistem. Sebagai contoh, properti-properti dari sistem keluarga dekat terdiri dari orang tua dan saudara kandung, dan sistem mikrososial terdiri dari guru, teman, dan kolega. Properti-properti dari sistem orang diambil dari konsep Lazarus mengenai BASIC ID (1989), yaitu behaviour, affect, sensation, imagery, cognition, dan drugs/biological functions. Mereka berfungsi sebagai sebuah unit dimana didalamnya tidak ada satupun dapat dipahami kecuali dalam konteks interaksi-interaksi resiprok mereka. Modalitas interpersonal dari BASIC ID diperluas manakala orang tersebut dilihat sebagai bagian dari beberapa sistem seperti sistem keluarga dekat.
Setiap sistem ekologis berada pada saat yang sama baik sebagian atau keseluruhan. Sebagai contoh, klien adalah seorang individu yang unik dengan karakteristik-karakteristik biologis dan psikologis yang khas dan juga bagian yang tak terpisahkan dari keluarga, masyarakat, dan alam. Berkaitan dengan ini, garis yang memisahkan sistem-sistem (lihat Figur 8.1) adalah artifisial karena semua sistem (termasuk manusia) dan properti-properti respektif mereka adalah tidak terpisahkan. Demarkasi tersebut dibangun dengan tujuan analisis yang tepat untuk memberikan para praktisi suatu pendekatan yang struktural dan sistematis terhadap konseling. Dengan melihat Fugur 8.1, orang dapat melihat sebuah garis putus-putus yang memisahkan sistem keluarga dekat dan diperluas, mengindikasikan sebuah ikatan yang kuat antara dua sistem tersebut dalam kultur Asia.

Fungsionalitas
Istilah fungsionalitas mengacu pada peran dan tujuan dari properti-properti tersebut, dan interaksi-interaksi mereka. Sebagai contoh, salah satu peran institusi pendidikan adalah untuk menyiapkan para remaja untuk masa dewasa. Semua sistem dan properti-properti respektif mereka berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. perubahan-perubahan dan gangguan-gangguan dalam satu sistem atau diantara dua properti di dalam sebuah sistem akan menuntun pada perubahan-perubahan dan gangguan-gangguan yang berhubungan di sistem-sistem lain. kekuatan yang mempertahankan integritas dari semua sistem disebut sebagai “kesetimbangan.” Sistem-sistem adalah dinamis dan dapat berubah dari waktu ke waktu (karena itu disebut sebagai “fluiditas”). Mereka berkembang, meningkat, dan tumbuh kearah kondisi setimbang. Namun, jika kesetimbangan tidak terjadi, maka masalah-masalah akan muncul. Dalam sistem orang, ketidaksetimbangan seperti itu dimanifestasikan dalam bentuk masalah-masalah psikologis. Sebagai contoh, tumor otak merupakan satu faktor biologis yang dapat menyebabkan halusinasi atau perilaku agresif. Pikiran-pikiran pesimistis dapat berkaitan dengan kepercayaan diri yang rendah dan menuntun pada perilaku maladaptif seperti penyalahgunaan obat dan penarikan diri dari sosial.
Ketika ketidakseimbangan dalam sistem orang dimanifestasikan sebagai masalah-masalah psikologis, sebuah ketidakseimbangan dalam sistem makrososial dimanifestasikan sebagai kegelisahan sosial atau pergolakan politis. Interaksi antara orang tersebut sistem-sistem lain adalah bersifat dua arah. Pada satu sisi, penyebab-penyebab masalah-masalah indivdiu dapat berasal dari lingkungan-lingkungan sosial dan fisik seperti kematian orang lain yang signifikan, tanggung jawab baru dalam kehidupan, resesi ekonomi dan polusi udara. Pada sisi lain, institusi-institusi sosial dapat dipengaruhi oleh masalah-masalah individu. Sebagai contoh, di AS tahun 1990, biaya gangguan-gangguan mental, yang diestimasi menjadi US$150 milyar, menjadi penghalang yang besar bagi masyarakat keseluruhan (Garske & Williams, 1999). Sekitar 47% nya adalah biaya langsung (perawatan psikiater dan medis) dan 53% adalah biaya-biaya tidak langsung (gangguang sosial, pengangguran, dan hilangnya produktivitas).
Diantara enam sistem tersebut, konsep sistem natural-ekologis memberikan klarifikasi yang panjang. Konsep ini, sentral bagi pandangan orang Asia, mempersepsi bahwa orang sebagai bagian tak terpisahkan dari alam. Perubahan-perubahan alam, apakah baik atau buruk, menyebabkan perubahan-perubahan pada manusia dan sebaliknya. Sebagai contoh, perubahan-perubahan musim dan eksposur terhadap polusi udara dapat mempunyai implikasi-implikasi psikologis besar seperti gangguan yang cenerung berat (Rosenthal dkk., 1984). Manusia harus belajar untuk hidup dengan alam dan menjaga harmoni dengan alam. Keinginan yang kurang menaruh perhatian untuk mengontrol alam melalui sains dan teknologi akan menghasilkan tolakan ke belakang seperti masalah-masalah lingkungan.
Hubungan antara manusia dan alam juga transendental, konsen dengan arti dan tujuan hidup, dan eksistensi umat manusia. Dengan terhubung ke alam, para individu mampu untuk: (a) mengurangi kesepian eksistensiil mereka; (b) mengkultivasi aktualisasi-diri; (c) mengurangi kecemasan akan kematian, dan (d) mendorong apreasiasi dan penerimaan mereka mengenai, dan kepedulian mereka terhadap perasaan sesama manusia (Dubos, dikutip dalam Germain, 1999: 30). Dalam hal ini, orang dapat membentuk sistem natural-ekologis, khususnya hubungan manusia-alam, dalam konteks religius dan spiritual. Istilah “alam” dan “ekologi” tidak dilihat sebagai lingkungan fisik namun sebagai representasi sebuah sistem pengaturan dimana tindakan-tindakan tersebut bermanfaat dan tidak acak. Bagi beberapa orang, ini dapat disebut “Tuhan” atau “Surga.” Dalam terapi, para klien religius dapat didorong untuk menemukan arti dalam hidup dengan mengarah pada hubungan mereka dengan Tuhan atau bentuk makhluk yang lebih tinggi. Sebagai contoh, seorang klien yang mempercayai nasib dapat berpikir bahwa naik dan turun dalam hidup adalah diluar kendali manusia. Melalui bantuan spiritual atau meditasi, ia dapat belajar mengenai arti dari eksistensinya dalam hubungan dengan bentuk makhluk yang lebih tinggi. Ketimbang merasa frustasi, ia dapat menjadi positif dan memperlakukan krisis hidupnya sebagai alur ke arah pencerahan. Untuk diskusi lebih lanjut mengenai isu-isu religius dalam konseling, para pembaca yang berminat dapat membaca di Richard dan Bergin (2000), dan Shafranske (1997).
Adalah penting untuk mencatat bahwa struktur dan fungsionalitas profil-profil ekologis adalah dibangun secara sosio-kultural. Mereka dapat bervariasi antar kultur dan waktu. Sebagai contoh, properti-properti dari sistem kekeluargan dan famili orang-orang Nayar di India (Oliver, 1981) berbeda dengan di Singapura. Dalam masyarakat mereka, wanita yang menikah bebas memilih lebih dari satu partner seksual dan mengetahui atau tidak mengetahui ayah dari anak-anaknya. Peran ayah atau suami tidak penting bagi orang Nayar.

Implikasi-implikasi untuk Konseling
Adalah penting bagi konselor untuk mempertimbangkan bagaimana seorang klien mengkonseptualisasikan profil ekologisnya dalam hal struktur dan fungsionalitas. Seorang klien dapat memperlakukan teman-temannya sebagai saudara kandung dan melihat mereka sebagai bagian dari anggota keluarga dekatnya. Sementara yang lain merasa lebih dekat dengan gurunya ketimbang dengan anggota keluarga dekatnya.
Profil ekologis dapat digunakan untuk memahami hubungan-hubungan interpersonal klien, dan kekuatan-kekuatan serta kelemahan-kelemahan jaringan pendukung sosialnya. Beberapa pertanyaan panduan yang dapat diajukan konselor ketika menilai profil ekologis klien mencakup berikut ini:
1. Bagaimana masalah yang dikemukakan klien tersebut terkait dengan orang atau institusi-institusi sosial lainnya?
2. Apakah sumber-sumber sosial yang dapat dimobilisasi untuk membantu klien tersebut?
3. Kepada siapa (misalnya anggota keluarga, saudara, teman, profesional dan penyembuh spiritual) yang akan dimintai tolong oleh klien ketika menghadapi krisis?
4. Dapatkah kita meningkatkan kondisi klien dengan menegosiasikannya dengan institusi-insitusi sosial terkait (misalnya otoritas-otoritas sekolah dan rumah)?
5. Jika tidak dimungkinkan untuk mengubah sebuah situasi sosial (misalnya, resesi ekonomi) dalam kondisi-kondisi yang berlaku, bagaimana kita dapat membantu klien belajar untuk mengadaptasi ke situasi tersebut (misalnya, memperoleh keahlian komputer untuk meningkatkan peluang kerjanya)?
Dalam bagian berikut ini, kami menggunakan sebuah kasus untuk mengilustrasikan aplikasi EMT.

ILUSTRASI KASUS
Peter, 18 tahun, adalah seorang mahasiswa tahun kedua. Ia datang untuk berkonsultasi dengan salah satu pengarang (B. O. Lee) karena kecemasannya melindas seseorang di penyeberangan pejalan kaki ketika ia mengemudi. Kecemasannya dimulai sekitar tiga bulan yang lalu namun ia tidak dapat menjelaskan bagaimana itu dimulai. Kecemasannya nampaknya tidak dipicu oleh apapun pengalaman tidak menyenangkan. Ia belum pernah secara pribadi mengalami atau menyaksikan kecelakaan motor di penyeberangan pejalan kaki. Peter ingin belajar untuk menghentikan perasaan cemas. Apa yang telah ia lakukan sebelum perlakuan/perawatan adalah menghentikan mocil setelah melewati sebuah penyeberangan pejalan kaki dan mengecek apakah ia telah melindas seseorang. Ia mendapati bahwa metode ini kurang tepat dan memalukan khususnya ketika ia bersama seseorang di dalam mobil.

Profil BASIC ID
Pada sesi pertama, sebuah analisis BASIC ID dilakukan mengenai sifat kecemasannya untuk menemukan bagaimana ia bersikap dan merasakan dalam peristiwa tersebut. Sampel pertanyaan-pertanyaan yang memandu analisis tersebut diberikan dalam bagan di bawah ini.
Bagan 8.1
Sampel pertanyaan-pertanyaan untuk analisis BASIC ID
Modalitas Sampel pertanyaan-pertanyaan panduan
Behaviour Ketika mengemudi, apa yang anda lakukan ketika anda mendekati sebuah penyeberangan pejalan kaki?
Affect Emosi-emosi apa yang anda alami sebelumnya, selama dan sesudah mengemudi melewati penyeberangan pejalan kaki?
Sensation Apakah anda memperhatikan sensasi-sensasi fisik (misalnya tegangan dan rasa sakit) menyertai emosi-emosi tersebut?
Imagery Apakah anda mempunyai kilas balik dari pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan?
Cognition Pikiran-pikiran apa yang anda punyai sebelum, selama, dan setelah mengemudi melewati penyeberangan pejalan kaki?
Interpersonal relationships Ceritakan pada saya mengenai hubungan-hubungan anda dengan orang lain (misalnya., pasangan, anggota keluarga, kolega, dan teman-teman).
Drugs/biological functions Apakah anda minum obat untuk mengontrol kecemasan anda? Apakah anda mempunyai keprihatinan terhadap status kesehatan anda?

Berdasarkan pada pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebuah profil BASIC ID diformulasikan, sebagaimana terlihat dalam bagan berikut ini:
Bagan 8.2
Profil BASIC ID Peter
Modalitas Deskripsi
Behaviour Sebelum mendekati sebuah penyeberangan pejalan kaki, Peter akan memperlambat mobilnya. Setelah melewatinya, ia akan menghentikan mobilnya untuk mengecek apakah ia telah melindas seseorang. Jika kondisi-kondisi lalu lintas di jalan tersebut memungkinkan, ia akan keluar dari mobil untuk melihat apakah seseorang terbaring di penyeberangan pejalan kaki. Jika kondisi lalu lintas tidak memungkinkan, ia akan memparkir mobilnya di tempat yang tepat (misalnya, dekat parkir mobil) untuk mengecek apakah ada satu tubuh manusia yang terperangkap di bawah mobilnya.
Affect Peter merasa panik dan sangat tegang ketika ia mendekati penyeberangan pejalan kaki karena takut melindas seseorang. Untuk mengurangi kecemasan dan tegangan tersebut, ia harus berhenti dan mengecek apakah ia telah melindas seseorang.
Sensation Ia berdebar-debar, otot-otot di leher dan bahunya tegang, dan sakit kepala ketika ia merasa tegang dan panik.
Imagery Sebelum mendekati sebuah penyeberangan pejalan kaki, ia akan membentuk sebuah gambaran mental menabrak seseorang. Setelah melewati penyeberangan pejalan kaki, ia akan secara mental melihat seseorang terbaring di penyeberangan tersebut.
Cognition Ketika mengemudi, ia terus berpikit bahwa ia akan mendapatkan kecelakaan dan membunuh seseorang di jalan, khususnya di penyeberangan pejalan kaki.
Interpersonal relationships Peter mempunyai jaringan pendukung sosial yang buruk. Ia tidak mempunyai banyak teman dan tidak dekat dengan para anggota keluarganya. Ia kesepian dan mempunyai kepercayaan diri yang rendah. Walaupun ia ingin mempunyai pacar, namun ia tidak merasa nyaman ketika berjumpa dengan lawan jenis.
Drugs/biological functions Ia tidak melakukan pengobatan atas masalah-masalahnya. Ia mempunyai kebiasaan makan yang buruk dan tidak melakukan olahraga fisik.

Firing Order dari Masalah Klinis
Analisis BASIC ID di atas menunjukkan bahwa masalah klinis Peter adalah multidimensional dan tujuh modalitas tersebut berinteraksi satu sama lain dan masing-masing tidak bisa diperlakukan secara terpisah. Sebagai contoh, ia membentuk gambaran mental ketika ia memikirkan melindas seseorang di penyeberangan pejalan kaki. Kecemasan, panik, dan otot yang tegang menyertai imajinasi dan pikiran ini. Pengecekan yang dilakukannya untuk melihat apakah ia telah melindas seseorang berperan sebagai sebuah fungsi untuk mengurangi kecemasannya.
Perhatikan urutan atau firing order dari modalitas-modalitas tersebut (Figur 8.2). Kecemasan Peter dimulai dengan modalitas-modalitas cognitive dan imagery. Ia berpikir, bersama-sama dengan sebuah gambaran mental, bahwa ia akan melindas orang di penyeberangan pejalan kaki sebelum ia mendekati penyeberang tersebut. Kemudian, ia mulai merasa tegang dan panik dengan banyak reaksi fisik (berdebar-debar dan otot-otot yang tegang). Walaupun ia memperlambat mobilnya karena takut mendapatkan kecelakaan ketika mendekati penyeberangan pejalan kaki, ia tetap ragu-ragu apakah ia telah menabrak seseorang setelah melewati penyeberangan tersebut. Ia menguraikan:
Saya mempunyai pikiran-pikiran irasional bahwa saya telah melindas seseorang. Saya kemudian membayangkan seseorang terbaring disana. Untuk mengeceknya, saya menghentikan mobil saya dan menoleh untuk melihat apakah ada satu tubuh terbaring disana. Setelah melihat bahwa tidak ada seorangpun disana, saya merasa lega sekali. Tegangan-tegangan awal yang saya dapat di leher dan keseluruhan tubuh secara perlahan menghilang.
Kami mempunyai urutan modalitas atau firing order bagi masalah Peter: C-I-A-S-B-C-I-B-A-S. Perlu dicatat bahwa ketika beberapa modalitas dipresentasikan dengan cara linier, yang lain muncul secara bersamaan. Sebagai contoh, pikiran mula-mula melindas seseorang muncul bersamaan dengan sebuah gambaran mental. Tembajan bersaman dari dua atau lebih modalitas menunjukkan bahwa sebuah kombinasi tehnik seperti halnya pikiran akan memblok bersama-sama dengan tehnik-tehnik pengendalian imajinasi yang dapat digunakan untuk mengatasi pikiran-pikiran intrusif bergambar.
Figur 8.2
Firing order modalitas-modalitas
Sebelum penyeberangan pejalan kaki

C (cognition) = “Saya akan melindas seseorang di penyeberangan pejalan kaki.”

I (image) = Ia mempunyai sebuah gambaran mental bahwa ia akan melindas seseorang.

A (affect) = Ia merasa tegang dan panik.

S (sensation) = Ia berdebar-debar, ototnya tegang, dan sakit kepala.

B (behaviour) = Ia memperlambat mobilnya
Sesudah penyeberangan pejalan kaki


C (cognition) = “Saya telah melindas seseorang.”

I (image) = Ia mempunyai sebuah gambaran mental bahwa ia telah melindas seseorang.

B (behaviour) = Ia menghentikan mobilnya dan mengeceknya apakah ia telah melindas seseorang.
A (affect) = Ketakutannya berkurang.
S (sensation) = Berdebar-debar, otot tegang, dan sakit kepalanya menghilang.

Profil Ekologis
Walaupun analisis BASIC ID memberikan beberapa data berguna untuk merencanakan sebuah rencana intervensi, namun itu tidak lengkap. Kita tetap tidak punya gagasan apapun mengenai mengapa Peter mengembangkan ketakutan irasional dan perilaku kompulsif ini. Mereka tidak dapat diatribusikan pada pengelaman-pengalaman sebelumnya, seperti terlibat dalam sebuah kecelakaan mobil. informasi dari analisis ekologis, sebagaimana ditunjukkan dalam Bagan 8.3, memberikan sebuah gambaran yang lebih luas mengenai masalah-masalah yang dipresentasikannya. Profil ekologis Peter mengungkapkan dua faktor tambahan yang kemungkinan berhubungan dengan kecemasannya: faktor-faktor predisposing dan precipitating. Faktor-faktor predisposing (Brems, 1999) adalah faktor-faktor di dalam kehidupan seseorang yang dapat membuat ia rentan terhadap perkembangan gangguan psikiatrik. Faktor-faktor tersebut tidak selalu mempunyai hubungan kausatif dengan gangguan klinis. Faktor-faktor precipitating, sebaliknya, adalah peristiwa-peristiwa yang memicu keluhan-keluhan yang diajukan (Brems, 1999). Dalam kasus Peter, konflik orang tuanya, jaringan pendukung sosial yang buruk, kesepian, kepercayaan diri yang rendah, performansi akademik yang rendah, dan stres studi dapat disebut sebagai faktor-faktor predisposing bagi masalah-masalah klinisnya sekarang. Faktor-faktor tersebut terkait dengan berbagai institusi sosial dalam jaringan ekologis Peter (lihat Bagan 8.3 dan Figur 8.3). Ancaman ayahnya untuk membatasi kehidupan sosialnya dapat menjadi pemicu yang bertanggung jawab pada kecemasannya. Bersama-sama, faktor-faktor predisposing menjadikan Peter lebih rentan dan merespon lebih kuat pada presipitan (ancaman ayahnya).
Bagan 8.3
Profil Ekologis Peter
Sistem Deskripsi
Keluarga dekat Termasuk dirinya, keluarga Peter terdiri dari empat anggota. Ayahnya (usia 56) adalah seorang pebisnis dan ibunya (usia 50) adalah ibu rumah tangga. Orang tuanya mempunyai masalah pernikahan selama bertahun-tahun dan hampir berakhir dengan perceraian. Saudara laki-lakinya (usia 21) baru-baru ini dinas nasional. Peter dekat dengan ibunya namun mempunyai konflik dengan ayahnya yang sangat tegas. Walaupun tidak mempunyai masalah signifikan dengan saudara lelakinya, ia tidak dekat dengan saudara laki-lakinya. Ketika ia mempunyai masalah-masalah pribadi, ia lebih memilih membagikannya dengan ibunya.
Ia tidak berkonsentrasi pada studi-studinya dan mendapat nilai buruk dalam ujiannya baru-baru ini. Ayahnya sangat marah dengan performansi akademiknya yang buruk dan mengancam untuk menerapkan jam malam pada aktivitas-aktivitas sosialnya. Yang menarik, sehari setelah peringatan dari ayahnya, Peter mengembangkan kecemasan melindas seseorang di penyeberangan pejalan kaki.
Keluarga diperluas Ibu Peter juga mempunyai konflik dengan keluarganya sendiri, khususnya ibunya yang menyalahkannya karena tidak mendukungnya secara finansial. Konflik-konflik keluarganya mempengaruhi suasana hatinya yang pada akhirnya mempengaruhi hubungan pernikahannya.
Sistem mikrososial Peter hanya mempunyai dua teman di sekolah, seorang wanita dan satu pria. Ia kesepian dan mempunyai keyakinan diri yang rendah. Walaupun ia ingin mempunyai pacar tapi ia sering merasa gugup ketika berada dihadapan lawan jenis.
Sistem makrososial Peter meyakini bahwa performansi akademiknya yang buruk terkait dengan kecemasan dan kehidupan sekolah yang menekannya. Ia tidak berpikir bahwa ia dapat memenuhi permintaan dan ekspektasi tinggi para gurunya. Ia merencanakan untuk bekerja setelah level A eksaminasinya.
Sistem natural-ekologis Peter tidak suka lingkungan fisik di Singapura yang ia deskripsikan sebagai terlampau banyak dan penuh sesak. Ia meyakini bahwa ruang fisik kecil disana sebagian bertanggung jawab pada stres-nya. Eksplorasi lebih jauh mengenai ketidakpuasan lingkungan ini menunjukkan ketiadaan arti dalam hidupnya. Mengindikasikan tidak adanya hubungan antara diri dan orang lain dan lingkungan fisik.

Konseptualisasi Kasus
Menarik informasi dari BASIC ID dan analisis ekologis, beberapa hipotesis dimunculkan mengenai masalah-masalah Peter. Masalah-masalah yang dihadapi Peter adalah bahwa ketika mengemudi, ia merasa cemas dan takut melindas seseorang di penyeberangan pejalan kaki. Setelah melewati penyeberangan ia menghentikan mobilnya untuk mengecek apakah ia telah melindas seseorang. Perilaku pengecekan ini mengurangi kecemasan dan ketakutannya. Pengurangan kecemasan dan dan ketakutan memelihara perilaku pengecekan tersebut. Walaupun Peter tidak mempunyai pengalaman sebelumnya (misalnya kecelakaan mobil) yang dapat berperan dalam kecemasan dan ketakutannya, masalah yang dihadapinya tersebut nampak terkait dengan beberapa faktor yang berinteraksi. Pertama, ia tidak mempunyai jaringan pendukung sosial yang kuat dan suportif. Orang tuanya berada dalam disfungsi pernikahan kronis yang sebagian disebabkan karena masalah keluarga ibunya sendiri. Peter dekat dengan ibunya namun tidak dengan saudara laki-laki atau ayahnya. Ia kesepian, tidak mempunyai banyak teman dan mempunyai kepercayaan diri yang rendah. ia juga berada dibawah tekanan studi yang berat dan tidak berencana melanjutkan studinya setelah level ‘A’ eksaminasinya. Peter menyalahkan konflik orang tuanya, kesepian, dan tekanan studi sebagai penyebab masalah-masalah klinisnya. Ia mengatakan:
Hidup itu menderita dan tak bermakna apa-apa. Saya tidak menemukan hidup di negara ini sebagai suatu hal yang bermakna…Jika saya punya kesempatan saya mau pergi ke tempat lain. Tapi kemana saya dapat pergi?
Perasaan ini makin kuat setelah pertengkaran dengan ayahnya yang sangat marah dengan performansi akademiknya yang buruk dan mengancam membatasi kehidupan sosialnya, termasuk tidak mengijinkannya untuk menggunakan mobil keluarga. Setelah peringatan itu Peter mengembangkan masalah-masalah klinisnya.
Dengan melihat pada analisis-analisis diatas, nampak yang menjadi masalah adalah ketidakseimbangan antara Peter dan lingkungan sosialnya (keluargam sekolah dan lingkaran-lingkaran sosial) menjadikannya rentan dan bereaksi kuat terhadap ancaman ayahnya yang pada akhirnya menuntun pada masalah klinisnya. Peringatan ayahnya mungkin membuat ia merasa tidak berdaya dan tertekan, dana menurunkan rasa kendali diri dan otonominya. Efek-efek psikologis tersebut dapat kemudian bermanifestasi sebagai ketakutan melindas seseorang di penyeberangan pejalan kaki, merepresentasikan ketidakpastian dan keragu-raguan dirinya. Untuk mengendalikan kecemasan ini, Peter menghentikan mobilnya untuk mengecek apakah ia melindas seseorang di penyeberangan pejalan kaki. Ritual kompulsif ini mengurangi namun memelihara kecemasannya. Figur 8.4 mempresentasikan hipotesis mengenai perkembangan masalah klinis Peter.

Figur 8.4
Konseptualisasi masalah-masalah klinis Peter





















Baik analisis BASIC ID maupun analisis ekologis menunjukkan bahwa, untuk mengatasi masalah-masalah klinis Peter, intervensi harus memfokuskan pada hubungan-hubungan keluarganya, masalah-masalah akademik, kayakinan-diri, ketrampilan studi dan kecemasan melindas seseorang di penyeberangan pejalan kaki. Bagian berikutnya mempresentasikan rencana intervensi secara detil.

Intervensi-intervensi
Ada dua sasaran dari program intervensi: (a) untuk mengeliminasi kecemasan irasionalnya dan perilaku pengecekannya; dan (b) untuk me-manage faktor-faktor predisposing. Sebagaimana disebutkan, faktor-faktor predisposing adalah faktor-faktor yang membuat Peter rentan terhadap stressor kehidupan yang akut. Jika faktor-faktor tersebut tidak dikendalikan, mereka dapat memicu masalah emosional lain pada Peter. Dua strategi intervensi diimplementasikan untuk mencapai dua sasaran tersebut. Pada strategi pertama (lihat Bagan 8.4), sebuah kombinasi dari tehnik-tehnik kendali cognitive, behavioural dan imagery digunakan untuk menangani kecemasan irasional ini dan perilaku pengecekan. Tehnik behavioural utama yang digunakan adalah eksposur dan pencegahan respon (ERP; Foa, Franklin, & Kozak, 1998). Dalam strategi kedua, sebuah kombinasi dari terapi keluarga, terapai kognitif-perilaku dan psikodrama digunakan untuk mencapai kesetimbangan dalam jaringan ekologis Peter.
Bab 8.4
Strategi intervensi
Modalitas Intervensi
Behaviour Peter didorong untuk mengekspos dirinya sendiri secara berulang kali ke situasi yang memunculkan kecemasan (yaitu, mengendarai melewati penyeberangan pejalan kaki). Namun, karena ia terlalu tertekan untuk menjalani sesi-sesi eksposur in-vivo di permulaan, ia dipimpin melalui sesi-sesi eksposur imajinal (lihat modalitas imagery dibawah ini). Sesudah merasa nyaman dengan prosedur eksposur imajinal, ia melakukan sesi-sesi in-vivo. Sesi-sesi awal tersebut menggunakan eksposur in-vivo ke sebuah penyeberangan pejalan kaki yang berlokasi diluar pusat konseling. Ia diminta untuk mengendarai mobilnya ke penyeberangan pejalan kaki tanpa menghentikan mobilnya untuk mengecek apakah ia melindas seseorang (yaitu, pencegahan respon). Ia juga diminta untuk melakukan ini ketika berkendara di jalan-jalan lain.
Affect Peter diajarkan latihan-latihan relaksasi otot progresif (baca juga Lazarus, 1971) di beberapa sesi untuk menangani ketegangan dan kecemasannya.
Sensation Sebagaimana penilaian BASIC ID mengungkapkan bahwa klien berdebar-debar, otot-ototnya tegang di leher dan bahunya, dan sakit kepala manakala ia merasa tegang, ia diperintahkan untuk memberikan lebih banyak perhatian pada otot-otot di leher, bahu, dan kepalanya sembari melakukan latihan-latihan relaksasi otot progresif.
Imagery Dalam bahasa pemrograman neuro-linguistik (Bandler & Grinder, 1975), klien terutama menggunakan sistem representasi visual untuk memproses reaksi cemasnya. Ketika ia mendekati penyeberangan pejalan kaki, ia mempunyai gambaran mental bahwa ia akan melindas seseorang. Dalam sesi eksposur imajinal, ia diminta untuk secara berulang memvisualisasikan dirinya mengendarai melalui penyeberangan pejalan kaki.
Cognition Untuk menghadapi pikiran intrusifnya bahwa ia mungkin melindas seseorang, Peter secara berulang diminta untuk menguraikan pikiran-pikirannya secara mendetil selama sesi-sesi eksposur imajinal.
Drugs/biological functions Meyakini bahwa melakukan olah raga fisik dapat membantunya untuk rileks dengan lebih baik, Peter berenang dan joging dua sampai tiga kali seminggu.
Keluarga dekat Beberapa sesi keluarga dilakukan bersama Peter dan para anggota keluarganya untuk memfokuskan pada hubungan-hubungan antara masalah klinisnya, isu-isu pernikahan orang tuanya, dan hubungan-hubungan keluarga keseluruhan.
Keluarga diperluas Sebagian dari sesi-sesi keluarga berkenaan dengan hubungan ibunya dengan keluarga asalnya, khususnya dengan ibunya (nenek Peter). Karena keluarga sang ibu berasal dari keluarga China tradisional, ia diajarkan untuk tidak mengkonfrontasi mereka secara langsung namun belajar untuk mengaplikasikan metode-metode mengatasi diversi dan non-tindakan yang disarankan oleh Lee (2002: 134-135).
Sistem mikrososial Dua orang temannya diundang untuk ambil bagian dalam konseling. Mereka membantunya mempelajari ketrampilan sosial melalui permainan peran, bertindak sebagai asisten konselor untuk memonitor perilaku sosial Peter diluar konseling, membantu Peter dengan tetap menemaninya ke fungsi-fungsi dan pertemuan-pertemuan sosial, dan membantu dalam studi-studi akademiknya.
Sebuah kombinasi dari tehnik perilaku (training ketrampilan sosial) dan psikodrama (Blatner, 2001) diaplikasikan untuk meningkatkan hubungan interpersonal dan dukungan sosialnya. Sebagai contoh, ia bermain peran dengan dua temannya dalam situasi-situasi sosial hipotesis seperti pertemuan dengan lawan jenis. Permainan peran tersebut direkam di kamera video untuk memberikan Peter umpan balik langsung untuk meningkatkan kesadaran dirinya (tehnik cermin; Kipper, 1986).
Sistem makrososial Sebuah ketidakseimbangan antara Peter dan sistem makrososialnya (sistem pendidikan) dimanifestasikan sebagai tekanan studi. Untuk menghadapi stres studi, ia mengaplikasikan latihan relaksasi otot progresif, dan mempelajari ketrampilan belajar dan manajemen waktu. Ia juga menjalani konseling karir untuk menggali opsi—opsi dalam kehidupan setelah studinya di perguruan tinggi dua tahun.
Sistem natural-ekologis Dengan latar belakang religiusnya sebagai seorang Budha, Peter didorong untuk menghadiri pelajaran-pelajaran religius untuk menemukan arti hidup.

Epilog
Di akhir perawatan/perlakuan, Peter mampu mengendarai mobil tanpa kecemasan irasional melindas seseorang di penyeberangan pejalan kaki. Ia mempunyai keyakinan diri dan ketrampilan sosial yang lebih baik, dan mampu menangani tekanan studinya. Ia juga membangun hubungan yang lebih baik dengan ayah dan saudara lelakinya. Sedangkan bagi orang tuanya, karena ketegangan jangka panjang mereka dan konflik kronis ibu Peter dengan keluarganya, maka sesi-sesi konseling mereka berlanjut setelah Peter menyelesaikan masalah-masalah klinisnys.

KESIMPULAN
Dalam bab ini, kami telah berupaya untuk mengintroduksi ecological multimodal therapy (EMT) sebagai sebuah pendekatan bagi konseling remaja. EMT adalah sebuah model pengobatan yang mengintegrasikan terapi multimodal yang dikembangkan oleh Lazarus (1989) dan model ekologis yang dikembangkan oleh Lee (1999). Tahap kami selanjutnya adalah melakukan riset untuk menilai efektivitas EMT di Singapura.

0 komentar:

Posting Komentar